Sepeda Motor Pertama

Saya sadar sejak awal kalau artikel ini (mungkin) kurang layak untuk dicerna publik. Namun karena bagi saya menarik, jadi saya publikasikan saja. Toh, kemungkinan besar tidak ada yang baca juga.

Masuk ke cerita…

Berbicara tentang kendaraan, keluarga saya memiliki berbagai model kendaraan yang masih tergabung dalam satu kategori, yaitu alas kaki. Sebenarnya ada kendaraan beroda, namun tinggal rangka yang tersisa. Kendaraan beroda yang tersisa rangka itu saya sebut sepeda. Semua kendaraan tersebut belum memiliki embel-embel bermotor di belakangnya, karena masih mengandalkan tenaga manusia.

Sepeda yang saya miliki bukan dari hasil membeli. Sekitar 9 tahun yang lalu, saya dikasih oleh pak lik saya karena kebetulan memang sudah tidak dipakai lagi. Jadi, saat sepeda tersebut masih bisa dikendarai, keluarga saya memiliki 2 alat transportasi yaitu sepeda dan alas kaki. Namun karena sepedanya sudah rusak, jadi yang tersisa hanyalah alas kaki.

Karena terasa capek jika terus-menerus mengendarai alas kaki (saat bepergian jauh), keluarga saya memutuskan untuk menambahkan angkutan umum ke dalam daftar alat transportasi. Pokoknya, kalau mau pergi jauh, entah itu pergi sekolah, pergi ke tempat saudara, atau pergi bertamasya, ya harus naik angkutan umum. Ehh sebentar, saya lupa kalau keluarga saya jarang bertamasya, jadi kata tersebut saya coret saja.

Cerita Sepeda Motor Pertama

Keluarga saya termasuk keluarga yang alhamdulillah berkecukupan. Saya berkata demikian karena saya yakin, masih ada keluarga lain yang berkecukupan pula namun dengan porsi yang lebih sedikit dari keluarga saya. Banyak sedikitnya tidak perlu diukur, karena ukuran cukup setiap keluarga tidaklah sama. Selain itu, semuanya kembali lagi pada rasa syukur.

Sejak saya lahir sampai saya lulus SMK, keluarga saya memang belum diberi kesempatan untuk memiliki sepeda motor. Saya tidak pernah bertanya kepada Bapak ataupun Mamak saya "Pak, kenapa kok tidak punya sepeda motor?, Mak, kenapa kok tidak beli sepeda motor?" ataupun pertanyaan lain yang menjurus pada hak milik sepeda motor. Saya paham akan perasaan mereka ketika menerima lontaran pertanyaan semacam itu.

Pernah sekali saya berkata seperti ini kepada Mamak saya "Sepertinya lebih hemat kalau naik sepeda motor saat SMK nanti daripada naik angkutan umum, Mak." 

Saat itu, saya sadar kalau keluarga saya belum punya sepeda motor. Lalu Mamak saya hanya menjawab "Iya nanti, kalau Mamak ada rezeki lebih."

Saya sama sekali tidak ada niatan untuk minta dibelikan sepeda motor, meskipun kalimat tersebut terkesan meminta.

Sejak awal, saya memang tidak pernah minta sepeda motor pada orang tua. Ya walaupun ketika melihat anak seumuran mengendarai, ada rasa ingin memiliki. Rasa ingin memiliki tersebut tetap saya simpan dalam hati. Saya tidak berani menerjemahkannya menjadi rangkaian kata karena takut menggoreskan luka pada mereka.

Saya berkeyakinan kalau orang tua saya pasti mempunyai keinginan untuk membelikan anaknya sepeda motor, cuma belum ada kesempatan saja. Meskipun begitu, saya tidak berharap sama sekali dengan keyakinan itu. Dalam hati saya sudah tertanam sebuah tekad untuk bisa membeli sepeda motor dengan hasil kerja keras sendiri.

Setelah lulus SMK, sebenarnya ada keinginan untuk bekerja. Namun, keinginan tersebut pupus seketika karena saya ingat kalau untuk mencari pekerjaan, perlu usaha juga, yang pasti harus ke sana kemari. Sedangkan saat itu, belum ada kendaraan yang bisa mengantarkan saya mencari pekerjaan.

Untungnya, saat prakerin dulu, saya pernah ditawari pekerjaan "Mas, kalau kamu nanti sudah lulus, kamu boleh ikut saya bekerja disini." Alhamdulillah, saya langsung menghubungi beliau dan langsung masuk kerja di kemudian harinya.

Belum genap 3 bulan, saya memutuskan untuk keluar dan kembali ke rumah. Yaudah, setelah itu saya hanya menyandang predikat pengangguran.

Dalam posisi nganggur, hampir mustahil saya bisa membeli sepeda motor saat itu. Namun karena tekad yang kuat, saya berusaha untuk bisa. Sejak SMK, saya sudah memiliki hobi yang bisa dikatakan menghasilkan. Hobi tersebut adalah ngeblog

Saat SMK saya pernah mendapatkan hasil dari hobi ngeblog tersebut, ya walaupun cuma receh. Tanpa pikir panjang, saya langsung fokus pada hobi tersebut dengan penuh harapan. Sebenarnya saat bekerja saya juga nyambi ngeblog ini, cuma kurang fokus karena cukup sulit membagi waktu antara kerja dan ngurus blog.

Keseharian saya saat nganggur bukanlah tidur. Bisa dibilang malah kurang tidur karena mantengin laptop terus-menerus. Saya jarang keluar rumah kecuali memang ada kepentingan. Meskipun begitu, saya tetap sadar kalau saya merupakan makhluk sosial. Ketika ada kegiatan sosial, saya pasti ikut dan meninggalkan laptop saya untuk sementara waktu. Setelah kegiatan selesai, saya langsung balik mantengin laptop.

Waktu terus berlalu dan mulai ada peningkatan dari penghasilan ngeblog saya. Fokus saya saat itu adalah update artikel setiap hari. Semakin lama pengunjung blog saya semakin meningkat, begitu juga dengan jumlah klik iklan yang didapat. Hingga pada suatu ketika, saldo di dashboard sudah mencapai ambang batas pembayaran dan akhirnya menerima gaji untuk pertama kali.

Pendapatan utama saya saat nganggur adalah dari ngeblog, lebih tepatnya dari Google AdSense. Uang yang saya dapat bukan langsung ditabung untuk beli motor, melainkan saya pecah lagi untuk kebutuhan lainnya, beberapa diantaranya untuk orang tua dan membeli kebutuhan pendukung ngeblog.

Proses nabung untuk beli motor berjalan lumayan lama, kira-kira sekitar 4 bulan. Dalam proses tersebut, ada saja suatu hal yang membuat saya harus nabung lebih sedikit, salah satunya adalah LCD laptop saya yang pecah.

Hal tersebut memaksa saya untuk menutup salah satu keran penghasilan karena harus menjual blog utama untuk biaya mengganti LCD laptop. Tapi tidak masalah, alon-alon waton kelakon.

Info Penting Tapi Jangan Ditiru 😀

Jadi, dalam proses nabung untuk membeli sepeda motor tersebut, saya ngutang sekitar 30% pada teman saya. Ini saya lakukan karena memang kepepet ingin segera bekerja. Bahkan, karena saking ngebetnya, saya sampai menjual akun AdSense pada 18 Februari 2018.

Terkait utang, utang tetaplah utang, wajib dibayar dong! Setelah saya diterima kerja, saya langsung mengganti utang tersebut tanpa ditagih terlebih dahulu.

Setelah saya rasa uang tabungan plus ngutang cukup, saya langsung bilang pada Mamak saya "Mak, saya punya uang segini, bagaimana kalau buat beli sepeda motor bekas?" 

Mamak saya menjawab sembari memberikan pertanyaan "Yaudah terserah kamu saja, memang mau yang seperti apa?" 

Saya menjawab "Apa saja, yang penting uangnya cukup, biar bisa cepat cari kerja." 

Tujuan saya membeli sepeda motor memang untuk cari kerja, bukan untuk gaya, jadi tidak masalah motornya seperti apa. 

"Yaudah, kalau misal nanti kurang, Mamak tambahin." Pungkas Mamak setelah saya menjawab pertanyaannya.

Proses mencari motor bekas pun dimulai. Saya gabung grup jual beli motor bekas dan mulai lihat-lihat motor yang dijual. Sudah beberapa hari mantengin grup itu, ternyata hasilnya nihil. Tidak ada motor yang cocok. Sebenarnya bukan motornya yang tidak cocok, lebih tepatnya dananya yang kurang. 😀

Karena tidak nemu-nemu, akhirnya saya minta bantuan tetangga saya. Kebetulan dia juga ahli dalam hal jual beli motor. Selang beberapa hari, akhirnya nemu juga motor bekas yang harganya cocok. 

Sebenarnya uang yang saya punya masih kurang untuk membeli motor tersebut. Karena sebelumnya Mamak saya bilang kalau mau nambahin, maka saya langsung ngomong sama Mamak saya. Uang yang saya punya saat itu cuma 80%, yang 20% adalah uang dari Mamak saya.

Setelah uang cukup, maka saya langsung datang ke rumah pemilik motor tersebut. Saya tidak tahu sama sekali tentang sepeda motor, karena jurusan saya ketika SMK bukanlah Teknik Sepeda Motor, melainkan Teknik Komputer Jaringan. Jadi, untuk urusan pengecekan saya serahkan pada tetangga saya yang lebih ahli. 

Karena dirasa cocok, maka transaksi pun terjadi. Dan akhirnya, keluarga saya punya kendaraan baru tapi bekas. Yey! 😀

Memang sih, motornya biasa saja. Karena tujuan saya beli sepeda motor hanya untuk cari kerja. Setelah dapat pekerjaan, motor tersebut saya berikan kepada bapak saya. Entah bagaimana perasaan bapak saya ketika dihadiahi barang bekas oleh anaknya. Apakah sedih, atau bahagia. Ya, semoga saja bahagia. 😀

Saya mencoba untuk tidak merepotkan mereka, meskipun saya yakin tidak akan bisa. Ketika yang lain minta kepada orang tua, sebisa mungkin saya memberi pada mereka. Ketika yang lain menuntut untuk dibelikan, sebisa mungkin saya membelikan. Saya sadar, apapun yang saya berikan kepada mereka, tidak akan mampu membalas kasih sayang dari dulu hingga sekarang.

Saya sangat bersyukur lahir dan besar bersama mereka. Mendidik dengan penuh kesabaran dalam balutan kesederhanaan. Meskipun terkadang kekurangan, namun tetap berusaha untuk dicukup-cukupkan.

Sekian.